Sabtu, 07-12-2024
  • Terimakasih telah mengunjungi Website kami -------------- Informasi PPDB kini tersedia di website ini --------------- Kunjungi Galeri untuk melihat kegiatan siswa --------------- Buka prestasi untuk melihat siswa-siswi berprestasi

Kontradiksi Majas dan Konjungsi

Diterbitkan :

Oleh : Dewi Masyitoh

– Penulis merekomendasikan pembaca untuk mendengarkan lagu About You | 1975 selama membaca cerpen ini.

“Seorang fotografer akan mendokumentasikan belahan jiwanya pada setiap karya potretnya, seorang pelukis akan mengukirkan pujaan hatinya pada setiap karya seninya, dan seorang penulis akan mengabadikan seorang yang dikaguminya pada setiap karya sastranya.”

Yogyakarta, 26 Desember 2049

Hujan deras mengguyur Kota Yogyakarta ketika sang Surya masih malu-malu untuk menampakkan pesonanya. Jalanan masih terlihat lengang. Aroma tanah berbalut air hujan menusuk setiap hidung manusia yang beraktivitas di atasnya. Aku duduk di bangku halte bus sekitaran kota guna melanjutkan perjalanan menuju suatu tempat untuk bertemu terakhir kalinya dengan seseorang.

Segera aku memegang telepon selulerku seraya mengirimkan pesan kepada sahabat karibku. Ketika selesai mengirimkan pesan tersebut aku langsung mematikan benda canggih itu untuk kemudian menatap jalanan kota yang masih sepi. Penduduk di dalamnya mungkin saja masih terlelap hanyut di mimpi yang diciptakannya sendiri. Aku menempelkan telapak tanganku pada dinding pembatas halte yang terbuat dari kaca dengan ketebalan sekitar tujuh sentimeter. Bulir-bulir air bergulir ke ruas jari jemariku. Dingin. Binar lampu-lampu pinggiran terlihat secara buram di balik pembatas tersebut. Aku kemudian berjalan membawa payung, sekadar melangkahkan kaki untuk mendapatkan pasokan oksigen yang lebih memadai.

Aku menatap langit yang gelap dimakan hujan. Angin sejuk kemudian datang dan membelai setiap helai rambut pendekku. Aku merasa seperti sedang disihir oleh kedamaian Kota Yogyakarta. Sejenak, aku mengingat banyak hal tentangnya. Tentang dia yang hangat dalam tutur katanya, tentang dia dan segala tindakannya yang senantiasa menenangkan hati orang-orang di dekatnya, tentang dia yang secara kejam membabat habis setiap perasaan yang tumbuh karenanya. Memang benar kata banyak orang. Janganlah jatuh hati di kota Yogyakarta, apabila Anda tak ingin terluka atas kenangannya. Tampaknya, aku telah melanggar nasihat tersebut. Merasa menyesal.

Sebenarnya aku telah melupakannya sejak satu dua bulan yang lalu. Namun, ketika malam tadi aku sedang membereskan setiap ketidakteraturan barang di ruang tidurku aku menemukan buku lawas milikku. Aku memejamkan kedua mataku, sejenak kembali ke masa malam itu.

***

“Woi dek, itu kamarmu diberesin la. Nanti ada kecoa lho!” ujar kakakku yang terlihat geram dengan tindakanku yang apatis dengan segala ketidakteraturan. “Apaan sih, liat ga aku lagi sibuk. Ganggu aja,” balasku dengan nada tak suka. Aku sedang membaca novel yang ku pinjam dari Perpustakaan di sekolahku. “Yaudah, kakak aduin bunda,” timpal kakakku yang secara ajaib langsung membuatku berkeinginan untuk membereskan kamarku. Malas, kesal, dan marah memupukku kala itu. Hendak menyapu saja rasanya menjadi sulit. Aku membereskan setiap tumpuk buku yang menghiasi lantai ruangan tersebut.

Segala kekacauan dan kekesalan tersebut segera dengan dahsyatnya menguap. Aku menemukan sesuatu yang secara tak logis membuatku tertarik dalam dua detik pertama melihatnya. Sama seperti ketika aku menatap dia. Tertarik ingin membacanya, aku segera menghentikan membereskan kekacauan di ruanganku. Tak masalah, toh sudah beres. Buku itu berwarna biru cerah bertipe bisa dibalik ke segala arah. Buku itu hadiah dari sahabat karibku. Laras namanya. Dengan segera aku membaca kenangan lama yang kuukirkan kisahnya pada buku polos tersebut. Rasanya, aku ingin mendinginkan kepalaku yang dipenuhi oleh bisikan setan yang tak tahu diri dengan membaca buku tersebut. Itu buku milikku yang mengukirkan kenangan lamaku. Saat itu, rambutku masih panjang dengan warna hitam legam. Aku masih duduk di bangku kelas sepuluh dengan teman-teman sepantaranku yang belum akrab denganku. Ketika aku membuka halaman awal, aku terpana membaca prolog tersebut.

“Kepada sang Mentari pagi yang sinarnya memeluk hangat setiap makhluk di dalamnya, kepada sang Petir yang senantiasa menggelegar dengan dahsyatnya, kepada sang Gemintang Bintang yang mampu menyihir setiap manusia agar terpesona secara lekat pada kilauannya. Bisakah kalian membuatnya yang hilang menjadi kembali, yang lupa menjadi ingat, dan yang tak punya perasaan menjadi tumbuh secara kuat bibit perasaan yang membara? Haruskah aku yang merasakan segalanya hanya karena aku yang sebelah tangan kagum pada keindahan sosoknya?”

Aku menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata, berusaha untuk tidak mengingatnya kembali. Tidak. Jika kalian menganggap pada kisahku ini, sosok dia menjadi peran antagonis, kurasa hal itu tidak sepenuhnya benar. Justru kurasa, akulah yang memiliki peran antagonis tersebut.

Kembali ke buku tersebut, halaman dua,

“Deduktif

Langit cerah dengan sinar raja siang yang menembus hingga pori-pori terdalam membuatku tak berkutik sepanjang pagi ini. Pukul enam pagi, tapi rasa-rasanya panas terus menjalar dari ujung kepala hingga ujung mata kaki. Hatiku berdegup kencang. Aku mengenakan seragam terbaruku, putih abu. Hari ini adalah hari pertamaku bersekolah. Aku takut apabila tak mendapatkan teman untuk tiga tahun ke depan, aku tak berharap apa pun. Aku hanya ingin bersekolah, menjadi anak yang tidak mencolok, karena aku tidak berani berekspektasi.

Aku bersekolah di National Stank Academy instansi sekolah milik negeri berbasis teknologi mutakhir pada generasi periode saat ini, 2045. Kini, manusia-manusia lain tengah sibuk. Kemungkinan besar karena hari ini adalah hari Senin sehingga mereka lebih sibuk daripada hari biasanya. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, menilik di mana kereta bawah tanah yang akan ku tumpangi berada. Jarakku ke sekolah cukup jauh, 19 kilometer. Aku perlu menaiki kereta bawah tanah yang kecepatannya lebih dahsyat daripada bus di atas tanah sana.

“Tuttttt…..,” kereta giliran yang ingin kutumpangi telah tiba. Aku yang tadinya sedang membaca buku karya penulis kesukaanku, bergegas masuk ke kereta untuk mendapatkan tempat duduk paling nyaman. Aku berangkat menuju sekolah secara mandiri. Lebih tepatnya sendiri. Ayah dan bundaku sibuk mengorbankan waktunya untuk bekerja, tapi bukanlah masalah bagiku.

Ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah menggunakan kereta bawah tanah. Ketika pintu kereta tersebut terbuka, aku terpukau melihatnya. Impresif. Aku bersyukur karena masih mendapatkan bangku tempat duduk di samping kelompok orang yang mengenakan seragam yang sama denganku.

Ketika aku telah duduk di bangku tersebut, salah seorang dari mereka yang sedang berdiri menyapaku. “Hai,” ujar salah satu laki-laki yang lebih matang usianya kepadaku, “Kamu sekolah di NSA juga?” laki-laki itu bertanya penuh selidik sambil membenarkan kacamata yang terpasang di wajah tampannya. Matanya kecil, tatapannya mirip burung elang. Ia memiliki rahang yang tegas. Rambutnya telah tersisir rapi layaknya ingin melamar pekerjaan. Klinis. Kulitnya sehat berwarna sawo matang yang cerah, dan ku rasa tinggi tubuhnya mencapai 178 cm. “Oh, ya hai kak. NSA itu National STANK Academy kan kak?” mungkin ia sadar bahwa seragam dan almamater yang kita gunakan sama. Biru malam yang dipadukan dengan seragam putih abu. Aku mengenakan rok selutut dengan rambut panjang dan sebuah jepit rambut yang terpasang dengan warna senada dengan rokku.

“Betul, kita satu sekolah, tapi kayaknya kamu anak baru? Aku Lalu, anak kelas 12 E.” Ia tersenyum manis, matanya hilang ditelan oleh senyumannya yang memukau. Aku terpana melihatnya, memberanikan diri, aku pun menjawabnya. “Halo, aku Sinestesia, panggil saja Tesia. Aku anak baru, kelas 10 C.” Ucapku balas tersenyum. (Oh ya, pada setiap angkatan di sekolah ku terdiri atas enam macam kelompok kelas, dari kelas a yang selalu dipandang diisi oleh orang-orang genius sampai dengan kelas f dengan orang-orangnya yang gila sinisnya.)

“Wah, adik kelas ya,”  timpal Kak Lalu tertawa renyah dengan suaranya yang berat layaknya remaja tengah menyelesaikan masa pubertasnya. Aku balas tertawa riang. “Tesia, aku duduk di samping, boleh?” tanyanya ramah. “Ah, boleh banget kak,” pagi itu, aku berbincang cukup lama dengan orang yang baru saja kutemui. Kami sangat akrab.

Kereta telah menyelesaikan perjalanan dari Stasiun Pusatala ke Stasiun Jadiharum aku turun sambil membawa tas ransel biru langit. Kini, aku tak sendiri lagi, akan tetapi bersama dengan seorang laki-laki yang telah kukenal selama dua puluh menit lamanya. “Sia, kamu ke NSA pakai jalur prestasi ya? Jarak kamu ke sekolah jauh banget soalnya,” kata Kak Lalu, bertanya seraya menilik kanan dan kiri mencari jalan tikus yang paling efektif. “Hah? Engga kak. Aku pakai jalur zona wilayah,” aku nyengir kuda, merasa sangat payah. “Eh, tapi bukannya harusnya ga sampai ya. Maksimal itu dua belas kilometer nggak sih? Ah atau kakak yang salah,” timpal Kak Lalu.

“Engga tau ya, yang jelas aku masuk karena pakai jalur zona wilayah,” ujarku dengan sikap yang berusaha bodoh amat dengan keadaan. Saat itu, Kak Lalu langsung tertawa renyah mendengar jawabanku. Jika kalian bertanya bagaimana perasaanku kala itu, tentulah senang bukan main. Duniaku kembali dijatuhi bunga-bunga. Perutku seperti diterbangi oleh seribu kupu-kupu. Dia sangat menghangatkan. Dengan inisiatifnya, dia menggandengku dan berusaha jalan secepat mungkin agar kami tidak terlambat ketika sampai ke sekolah.

Saat itu, aku hanya menganggapnya sebagai kakak laki-lakiku. Namun sepertinya anggapan tersebut tak bertahan lama. Ini adalah awal pertemuanku dengannya, pembukaan dari kisah perjalananku dalam menggapai mimpi. Mungkin kalian akan bingung dengan segala spontanitas ini, tapi kuharap kalian memaklumi karena aku tak biasa menulis. Oh ya, perkenalkan, aku Candra Sinestesia, aku baru saja menginjak usia lima belas tahun. Aku suka membaca tapi masih awam dengan menulis, aku suka ilmu sains dan kurang menguasai ilmu bahasa. Ku harap kalian tidak bosan mendengar ceritaku.”

Aku tersenyum indah kala membaca kenangan tersebut. Walau baru mencapai halaman ke dua, aku tetap saja rindu bukan main. Mengingat sejuta harapan yang tumbuh ketika aku bersama dengan dia.

***

Kelopak mataku terbuka ketika mendengar bus yang telah menghampiri halte. Aku dengan segera bergegas menuju halte tersebut dan masuk ke bus yang hendak kutumpangi. Aku menempelkan kartu penumpang bus milikku ke alat scan pembayaran yang terletak di pintu bus tersebut. Aku tak terkejut ketika melihat hanya aku dan seorang wanita paruh baya yang menjadi penumpang bus tersebut. Aku mencari bangku yang paling kusukai sejak dahulu. Bangku paling depan yang terletak di belakang kursi sang Pengemudi. Jarak antar bangku penumpang dan pengemudi lumayan luas. Aku bisa meletakkan barang-barang bawaanku dan menjulurkan kaki dengan lurus di bangku tersebut. Bus kemudian memulai perjalanannya dengan aku yang juga mulai menatap jalanan kota dari balik jendela bus.

Satu tarikan napas membuatku lebih tenang pagi ini. Angin pagi dengan lembut kembali membelai rambutku. Kutatap jalanan kota yang masih diguyur oleh deras hujan. Telepon seluler di saku kemeja yang kugunakan tiba-tiba berderit merusak suasana. “Hei, apa kabarmu. Aku masih menunggu balasan pesanmu sejak malam tadi :). Maaf baru sempat menjawab pesanmu. Sepertinya, aku baru saja tertidur,” aku dengan segera membalasnya, “Tidak apa,” kemudian dengan gesitnya bilah kontak tersebut menandakan bahwa dirinya sedang mengetik sesuatu, “Kamu sudah pulang dari Singapura? Oh ya, mengapa tiba-tiba ingin bertemu dengannya?” pesan yang satu itu dengan sekejap membuatku mematung ketika membacanya.

Entahlah. Aku tak berniat membalas pesan tersebut. Dengan segera aku mematikan telepon selulerku. Kembali memejamkan mataku. Selama sepuluh menit lamanya bus melaju dengan gila cepatnya membuatku segera sampai ke tempat yang telah kujanjikan untuk bertemu dengan seseorang. Aku menyesal dengan pertemuan ini, tapi bisa apa? Aku telah berjanji untuk datang.

Seorang perempuan dengan rambut digerai berusia sekitar sembilan belas tahun segera melambai ketika aku telah turun dari bus. Ia berada di tempat duduk pada sebuah kafetaria, tersenyum manis kepadaku. Disampingnya terlihat sosok laki-laki dengan mata elangnya. Dia Kak Lalu. Aku membuka payung yang kubawa. Hujan masih melebat saat itu. Aku melangkahkan kaki ke arah mereka. Terukir senyum di wajahku yang tak dapat dijelaskan.

Ketika aku telah duduk di bangku tersebut. Suara hujan mendominasi pertemuan kami. “Ehem, cie yang habis pulang dari Singapura,” ucap Laras. Sahabat karibku. “Haha, kamu nih masih sama kayak dulu,” timpalku seraya mengambil ponsel dari saku kemejaku. “Aduh, kayanya aku mau ke toilet dulu. Kebelet nih. Sebentar ya,” ujar Laras dengan perasaan tak berdosa. Sial. Aku sudah memastikan dia telah menyusun rancangan apa saja yang ingin dia lakukan ketika berada di sini. Suara hujan kembali mendominasi pertemuanku. “Hei, apa kabar?” suara yang dahulu senantiasa kutunggu pada penyaring suara ponsel seluler tiba-tiba terdengar kembali. “Seperti yang terlihat, baik,” ucapku.

Pagi ini rasa-rasanya pertemuan berlangsung secara singkat. Aku hanya menyampaikan bahwa aku tak dapat kembali ke Kota Yogyakarta. Aku juga mengatakan secara tegas bahwa aku tak dapat menjalin hubungan apa-apa dengannya jika ia masih menyimpan rasa pada sosok bayang-bayang yang tak tahu itu siapa. Dia tak pernah transparan akan hal-hal yang dia simpan rapat-rapat. Walaupun dia menghangatkan, akan tetapi kegelapan yang ia simpan juga bukan main seramnya. Begini, semakin terang sebuah sumber cahaya, semakin gelap bayangan yang dihasilkannya bukan? Pagi itu, aku meninggalkannya yang masih termenung hanyut dalam pikiran. Ia telah membuat satu dusta yang tak akan pernah ku maafkan. Dia berbohong.

Singapura, 30 Desember 2049

Empat hari lamanya telah habis dimakan waktu. Semenjak pertemuan kala itu, aku merasa lebih lega. Dia tak mengirimkan pesan apapun lagi kepadaku. Aku juga tak masalah dengan hal itu. Dengan hobiku yang sangat amat bervariasi dan dengan kegiatanku yang tak logis banyaknya membuatku lebih sibuk daripada Dewan Perwakilan Rakyat di tanah air tempat lahirku.

Sore itu, aku memilih untuk berjalan-jalan di sekitaran kota untuk sejenak menenangkan diri dari seluruh tugas kampusku yang gila banyaknya. Aku mengenakan sweter biru gelap dan rok pendek selutut berwarna kuning gading. Aku mengenakan topi baret berwarna senada dengan atasan yang kugunakan serta sepatu pantofel putih yang dipadukan dengan kaus kaki dengan panjang setengah lutut. Rambut pendekku tergerai. Aku membawa kamera kecil untuk mengabadikan setiap momentum hangat kala itu.

Kendaraan lalu lintas berlalu lalang karena hari ini adalah satu hari sebelum malam tahun baru. Terlihat harapan yang membara pada setiap mata manusia saat itu. Harapan untuk melanjutkan hidup yang lebih baik pada tahun setelah ini. Aku juga demikian. Berharap terdapat keajaiban positif pada setiap moment yang kujalani.

Angin dengan segera datang mengunjungiku kemudian membelai rambutku. Daun-daun yang tak dapat bertahan pada dahannya jatuh terbawa angin yang mengunjungi setiap pohon di tempat tersebut. Aku dijatuhi oleh beberapa daun tersebut. Aku berjalan sambil memutar-mutarkan tubuhku, meromantisasi moment tersebut. Langit berwarna oranye keemasan oleh matahari yang sedang menenggelamkan dirinya dari barat sana. Cahaya tersebut memantulkan kilau pada laut yang entah sejak kapan bertengger di sana. Bersamaan dengan itu, nyiur ombak disamping jalanan kota menambah nilai mahal suasana kala itu.

Ketika aku sedang sibuk memotret segala kesempurnaan tersebut, bayangan seseorang yang lebih tinggi daripada aku muncul tepat di belakang tubuhku. Aku menoleh dan terkejut secara bersamaan. Mataku berbinar ketika menatapnya. Angin laut dari arah barat membuat daun-daun kembali jatuh dari pohonnya. Dua menit lamanya aku dan dia saling bersitatap, berusaha menemukan sebuah puzzle yang hilang di antara kami.

Ia mengenakan syal leher dengan warna cokelat tua dan outer dengan panjang sepaha berwarna hitam gelap. Celana yang ia gunakan senada dengan syalnya dan ya ampun! Kemeja yang ia gunakan merupakan pemberianku kala usianya menginjak 19 tahun saat itu. Rambut belah duanya acak-acakan, sepertinya ia sedang tak ingin bergaya klinis hari ini.

Dengan sekejap rasa tak suka segera memenuhi seluruh pikiranku. Dia Kak Lalu. Seseorang yang kukagumi sejak dahulu. Seseorang yang membabat habis seluruh perasaan yang tumbuh karenanya. “Hai,” ujarnya sambil tersenyum. Mata elangnya tenggelam dalam hangatnya senyum yang ia ukirkan. Aku mengabaikan. Menoleh kesamping berusaha memalingkan diri. Namun, tubuhnya malah mengikuti di mana arahku menengok. “Ada apa sih, rese banget!” timpalku merasa kesal olehnya. “Kenapa di saat yang tenang kayak gini, kamu malah dateng. Ngerusak suasana tau ga!” aku tak menyangka aku telah mengeluarkan berbagai perkataan yang mungkin akan melukai hatinya. Ya sudah lah. Dia juga jahat. Fifty-fifty dong! “Maaf, kamu ga nyaman ya?” ujarnya tenang. Suaranya yang dipadukan dengan semilir angin berembus dan nyiur ombak kala itu, sungguh membuatku merasa nyaman. Namun, rasa kesal tak kunjung menguap dari diriku.

Daripada aku kembali menyakiti hatinya dengan perkataan jahatku, lebih baik aku meninggalkannya bukan? Aku berjalan meninggalkannya berusaha melangkahkan kaki dengan segesit mungkin, tapi Kak Lalu curang! Langkah kakinya jelas lebih besar daripada milikku. Dengan segera ia kembali menghalangi jalanku. “Hei, aku mau minta maaf. Kamu kayanya salah paham deh,” ujarnya tanpa dosa.

Sebenarnya nada bicaranya sangat lembut. Tutur katanya seperti mengajak damai lawan yang ingin melanjutkan perang. Namun, aku sepertinya memang sedang dirasuki setan! Sebaik apapun dirinya aku tak acuh lagi. Dengar saja ucapannya barusan. Menyalahkanku karena aku yang salah paham dengannya. Enak saja! Jelas dia yang salah. Berbohong apabila sedang tak jatuh hati pada siapa-siapa. Berbohong dan malah meninggalkanku yang kala itu masih menyimpan rasa padanya. “Terserah apapun alasan yang kamu kasih, aku ga peduli. Mending kamu minggir kalau gamau aku ngucapin berbagai kata-kata mutiara lagi,” seruku kepadanya.

Rasa marah kembali membara. Ketika ia tak kunjung menyingkir dari hadapanku aku mendorongnya dan segera berlari. Namun, ia malah menarikku dalam pelukan hangatnya. “Bolehkah aku meminta waktumu sebentar? Kali ini aja,” ucapnya sambil membelai rambutku. Aku kalah telak.

Suara musik klasik bersenandung merdu, udara dengan setia menghantarkan gelombang bunyi tersebut, menggetarkan gendang telinga setiap makhluk di dalamnya. Kini aku berada di sebuah kafetaria bergaya kuno. Bukannya tenang, aku justru semakin emosi dibuatnya. Melihat si Mata Elang ini di depanku saja sudah membuatku muak ditambah lagi musik tak jelas yang semakin membuatku ingin mengacak-acak seluruh isi bumi ini.

 “Ada apa? Cepet jelasin. Aku nggak punya waktu buat kamu!” ujarku dengan nada seratus persen emosi. Kak Lalu terlihat berusaha menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Aku yang marah mengapa dia yang malah yang menenangkan diri? “Maaf, aku ga pernah suka sama orang dalam bayangan yang kamu maksud. Mantanku. Aku cuma gengsi aja untuk nunjukin rasa sukaku. Gengsi bukan berarti ga suka kan?” ucapnya berusaha tenang dengan situasi yang terjadi. Tanpa sadar, aku mengangguk oleh ucapannya.

“Kamu tau kenapa setiap kamu berangkat ke kereta selalu ada bangku kosong di sampingku? Itu sengaja buat kamu. Aku minta temen-temenku buat ga duduk di situ. Kamu tau kenapa aku selalu gesit kala kamu minta bantuan? Kamu tau kenapa aku sempet marah selama satu minggu waktu kamu jalan bareng Gavin temen sepantaranmu itu? Karena aku suka sama kamu. Ga ada sama sekali bayangan yang aku sukai waktu aku sama kamu,” Kak Lalu berusaha menjelaskan.

Bukannya tidak percaya, tapi aku ini iseng ingin mendengarkan seluruh perasaannya pada sore ini. Benar saja, ia menjelaskan seluruhnya sampai detail paling kecil. Aku terkekeh sedikit, walaupun ia berusia lebih tua daripadaku, tapi lihatlah dia diisengin oleh bocah ingusan seperti aku.

Kini, bulan telah memancarkan pesonanya. Sinarnya menembus dinding kaca pada kafe tersebut. Aku duduk di bangku yang jaraknya sangat dekat dengan dinding kaca itu. Melihat gemintang bintang yang bayangannya terpantul pada laut di samping sana, melihat setiap pasangan yang menyatakan sumpah setia pada pasangannya, melihat setiap deru ombak yang berusaha ingin menyapu pantai yang jauh seratus meter di depan sana.

Malam telah bersemi, kopi yang kupesan telah habis kusantap. Aku menatapnya, “Kamu udah jelasin, berarti aku boleh pulang kan?” ujarku merasa tak berdosa atas segala kekacauan yang terjadi hari ini. Perasaanku jauh lebih tenang karena penjelasannya. “Aku antar,” ucapnya mantap. Setelah membayar, aku dan Kak Lalu berjalan membelah jalanan di samping laut tersebut. Satu dua mobil berlalu lalang. Kini, hanya kami berdua yang terdapat pada tempat tersebut.

Sesekali Kak Lalu melemparkan candaannya yang membuatku tertawa olehnya. Dia menggandengku seperti saat dahulu. Aku memotret moment tersebut dengan kameraku. “Hei, kemari. Aku pengen fotoin kamu, tapi pakai kameramu aja ya. Biar makin berkesan fotonya haha,” kekehnya. Aku memberikan kamera yang tampak semakin kecil apabila ia yang memegangnya.

 Sinar cahaya lampu keluar dari kamera tersebut. Aku mengeluarkan gaya aneh-aneh. Peduli apa aku tentang estetika? Namun, ketika ia mengatakan, “Boleh nggak aku foto kamu sekali lagi, tapi kali ini, aku pengen nyimpen fotonya,” secara ajaib aku langsung memberikan gaya paling istimewa. Berusaha memancarkan pesonaku dengan eloknya. Berharap ia terpikat kembali olehku. Gengsi? Peduli amat.

Ketika ada sekelompok remaja yang melalui kami, Kak Lalu meminta tolong pada mereka untuk memotret kami berdua. Sinar merah bersemu pada bagian pipi wajahku. Ia meletakkan tangannya pada bahuku. Tersenyum hangat. Mata elangnya kembali tenggelam. Aroma parfum yang ia gunakan semerbak kala itu. Aku merasa sangat nyaman serta berharap dapat memberhentikan waktu cukup dengen menjentikkan jari tangan. Halusinasi yang sempurna.

Kami berterima kasih pada sekelompok remaja tersebut. “Foto yang ini bagus, boleh nggak aku minta?” ujarnya menunjuk salah satu foto kami berdua. “Boleh, ambil aja. Aku satu kamu satu ya,” entah kenapa nada bicaraku berubah menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Ketika kami telah berada di depan gedung apartemenku, ia menarik tanganku. “Terima kasih untuk hari ini, kalau boleh besok mau ga kita jalan-jalan lagi?” ucapnya malu-malu. Aku menoleh sambil mempertimbangkan sesuatu. “Boleh,” ucapku. Aku kembali melanjutkan langkahku. Namun, ia berhasil kembali meraih tanganku. “Satu lagi, apakah ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita yang sebelumnya?” Ia berusaha mantap dalam mengatakan hal tersebut. Matanya berbinar dan bibirnya bergetar. “Mungkin?” balasku berusaha mempertimbangkan lagi.

 “It’s better than no,” ucapnya sambil tersenyum hangat, matanya kembali lenyap oleh senyumnya yang merekah. Kupu-kupu kembali bersemu dalam perutku. Angin bersemilir menjatuhkan daun-daun kembali.

Ketika aku telah mencapai gagang pintu gedung apartemen tersebut, aku melambaikan tangan mengucapkan selamat tinggal pada si Mata Elang tersebut. “Selamat beristirahat, mimpi indah Sia,” teriaknya di depan sana. Aku mengangguk, “Kamu juga kak,” responsku sama seperti dia.

Malam ini, aku tidur tidak lebih nyenyak daripada biasanya. Aku memikirkan apa saja yang harus aku kenakan pada esok hari, apa saja yang harus kusiapkan, dan apa saja riasan yang harus kugunakan. Segala kebingungan tersebut kembali datang. Sama seperti sebelumnya, kini hubunganku dengannya telah kembali seperti dahulu. Terobati oleh segala klarifikasi yang ia lakukan. Kesalahpahaman memang dapat menghancurkan hubungan yang dibangun dengan susah payah.

Namun, ada satu hal yang membuatku tak habis pikir. Mengapa dahulu aku terlalu mudah terbawa oleh kabar burung yang tak jelas kebenarannya. Kabar burung mengenai Kak Lalu yang pergi karena ingin menempuh pendidikan bersama mantan terindahnya. Kabar burung mengenai ia yang masih terpikat dengan mantannya dan mencari seseorang yang mirip dengannya. Aku merasa sangat bersalah. Dengan segera aku meraih telepon selulerku dan mengirimkan pesan singkat padanya. Mungkin malam ini, esok, lusa, atau entah kapan, harapan itu dapat kembali terwujud?

Pengumuman Lainnya

 1,750,204 total views,  152 views today

Link Terkait

Pengumuman

Akses Erapor siswa semester gasal 2024 klik disini

Arsip

Kategori